SUMBU
Apapun yang aku pikirkan pasti kamu cela, apapun yang aku katakan pasti kamu tertawakan
” Aku mencela karena kamu bisanya cuma berfikir, aku tertawa karena kamu cuma bisa bicara, apakah kamu tidak pernah punya keinginan untuk membaca atau sekedar berlatih mengeja?”
Apa yang mesti aku baca?
” Kamu harus berubah ”
Kenapa aku harus berubah? Aku bisa berubah kalau kamu mau berhenti melangkah
” aku akan berhenti melangkah kalau tangan dan kakimu sudah aku patahkan”
Oh, jangan.. asal kamu tau, kakiku ini sudah pernah menencetak gol ke gawang Thailand
” boleh tau apa yang kamu dapat?”
Tidak ada, tapi tanganku ini juga sudah pernah memukul KO Andrian Kaspari
” lantas apa pula yang kamu dapat?”
Juga tidak ada, tapi salju yang menebing tinggi juga sudah pernah aku gapai dengan sepasang kakiku ini
” apa yang kamu peroleh?”
Sudah aku katakan, aku tidak pernah memperoleh apa apa
” lantas mengapa tidak boleh aku patahkan tangan dan kakimu? bukankah tangan dan kakimu tidak pernah bisa memberimu apa-apa, tidak bisa membuatmu terbang mengejarku!”
Ah, memang susah ngomong denganmu, aku akan membuat sayap agar bisa terbang mengejarmu.. akan membuat tembok dan pagar yang amat tinggi agar langkahmu berhenti
***
Berhenti.. percakapan terhenti, sepi..gelap..
Bisu kembali menemuiku. Perdebatanku kembali membisu. Mungkin kami sudah lelah berdebat setiap malam, bosan..., atau kami sudah kehabisan kata karena semua partitur sudah kami bincangkan. Ah tidak, besok malam pasti kami berdebat lagi. Toh masih banyak ruang untuk menunggunya sambil menghabiskan kopi pahit kesukaanku.
Diluar gelap masih merangkak beranjak, sementara dingin begitu telaten mengusap setiap kulit yang tergolek. Satu persatu daun daun sombong dan bunga bunga pongah membaur dalam kebersamaan gelap. Tak satupun diantara mereka yang berani bergoyang memamerkan keindahan, memamerkan setiap inchi kekaguman yang kerap mereka dapatkan saat mentari menerang. Mereka kini tersudut disatu tempat yang kerap disinggahi tapi tak jua mereka kenali.
Tubuh kecil yang terpulas di kasur lantai mengingatkanku pada sosok wanita yang telah melahirkannya. Tak henti hentinya kubertanya keberadaan hati wanita itu yang tega meninggalkan bocah selucu dan semungil ini. Apalagi saat disuatu siang anak ini berlari sembari berteriak kearahku, “ ayah...., nesha ngliat orang mirip gambar di meja ayah. Nesha lalu menghampirinya, nesha ngomong kalau di meja ayah ada gambar yang mirip dengannya. Tapi dia cuma tersenyum sambil memberi nesha uang seribu. Katanya cerita nesha bagus...”
***
“ Tidak kamu habiskan nasi gorengmu bri..?”
Nasi goreng lagi, nasi goreng lagi. Apa tidak ada menu lain selain nasi goreng. Bosan lidahku mengecapnya. Pedas, asin, berminyak, belum lagi ketuang kopi pahit. Mual rasanya perutku.
” Kalau kepingin menu lain, kenapa kamu tidak mencarinya? ”
Mencari kemana, semua pintu sudah terkunci. Lampu seberang juga sudah tidak menyala..
” Kan kita punya senter penerang malam. ”
Mataku masih cukup awas melihat aspal
“ Jangan selalu kamu acuhkan cahaya senter keluarga kita. Walau sudah uzur dan redup tapi itu selalu berguna untuk kita “
Mataku masih cukup awas melihat aspal
“ Kamu memang keras kepala! “
Bukan kepalaku yang keras, tapi musikmu yang terlalu keras. Setiap hari menembang lagu-lagu yang sama.
” Percuma kamu setiap malam mendebat, dia terlalu kuat berjalan, dan dia tak kan pernah kelelahan, tak akan tergoda halte halte rindang tempatmu terpaku. Dia akan terus saja berjalan tanpa memperdulikan langkahmu yang mulai pincang, tak kan perdulikan nafasmu yang mulai tersengal sesak bisingan tetangga. Dia tidak akan berhenti hanya untuk menunggumu menyemir sepatu, atau sekedar memijit dagumu yang sudah mulai panjang.
Kamu ingin langkahnya terhenti? Kamu ingin detaknya berhenti agar kamu punya kesempatan mengencangkan kancing bajumu yang mulai mulur?
Kalau aku justru berharap dia berkenan berjalan lebih cepat dari biasanya, berjalan melompat atau berlari sekalian agar mimpimu cepat berlalu....cepat selesai ”
Aku hanya ingin berubah!
” Kamu bukan ingin berubah, tapi ingin merubah. Sedangkan kamu justru yang patut dirubah. ”
***
Malam berikutnya tak ada yang berubah, aku kembali menatapi pita-pita berbandul jengkol yang tergantung rapi di dinding kamarku. Riuh atribun meng-aplouse benda-benda itu saat dikalungkan ke leherku yang berkeringat masih bergemuruh setiap malam. Kemarin aku sangat bangga, tapi kini mataku sepet melihatnya. Tak sebanding rasanya perasan keringatku, erangan otot dan pekikku yang hanya terbalas jabat tangan pejabat sembari mengucap selamat!.
Jika waktu bisa kembali, ingin rasanya aku memilih duduk dirumah menonton televisi dari pada berada di televisi dan menjadi bahan sorak sorai.
” aku tidak mungkin kembali ”
Kenapa tidak?, bukankah kamu punya sayap?, kamu bisa terbang?
” sayapku bukan untuk manusia kerdil sepertimu, sayapku hanya untuk orang-orang yang gagah berjalan bersamaku ”
Serdadu maksudmu?
” bukan”
Lantas siapa ?
” mereka adalah orang-orang yang tidur tanpa mengharap mimpi dan terbangun tanpa mengharap angan ”
Ah, kamu picik..
” bukan aku yang picik. Tapi kamu yang picik ”
Kalau orang yang telah menancapkan patok bendera kita di negeri orang seperti aku kamu bilang picik, lantas kamu anggap apa mereka yang suka menjual patok untuk membuat batang korek api ke negeri tetangga ?
” mereka adalah pahlawan negerimu ”
Pahlawan.....?! kamu pura-pura gila atau benar-benar bodoh?
” kamu yang gila dan kamu pula yang bodoh. Berapa besar nilai yang telah mereka berikan hingga negerimu sekarang menjadi pintar? Berapa besar sumbu yang telah mereka ledakkan hingga negerimu terbangun dari mimpi ? mereka terlalu baik untuk kamu cela ”
Dan kamu ingin katakan aku terlalu buruk untuk kamu puji?
” Kalian memiliki tabiat untuk mengingkari, membangkang, dan meremehkan suatu kebaikan. Karena itu, jangan heran dan resah bila mendapati orang mengingkari kebaikan yang pernah kamu lakukan, mencampakkan budi baik yang pernah kamu tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah kamu persembahkan. Tak usah resah bila mereka sampai memusuhimu dengan sangat keji dan membencimu sampai mendarah daging, sebab semua itu mereka lakukan karena kamu telah berbuat baik kepada mereka ”
Aku hanya ingin diakui sebagai bagian dari nilai yang sudah pernah mengharumkan bangsaku.
” Mereka juga ingin kamu mengakui, bahwa terlalu mahal biaya untuk membuatmu jadi orang yang harum. Banyak hak-hak mereka yang telah kamu makan. Lihatlah mereka yang harus kelaparan, harus terjerembab di lubang aspal, harus terkatung di penampung sementara hak mereka telah habis untuk membayar kamar hotelmu. Keringatmu boleh mengering dalam sekejap, tapi cucuran mereka takkan secepat itu terhapuskan. ”
No comments:
Post a Comment