Tuesday, November 25, 2008


Lampiran 2:
SYEKH SITI JENAR DAN AJARAN
MANUNGGALING KAWULA GUSTI

“Ora ana apa-apa kejaba mung sing wajib ana. Anane samubarang namung margo di anakake karo sing kudu ana. Mula ojo pisan-pisan pisah karo sing Wajib Ana, manunggal kanthi utuh” (inspirasi, 7 Juni 2006).

A. Sufisme Filosofis
Orang Jawa dalam segala segi kehidupannya tidaklah terlepas dari kefilsafatan. Bahkan dalam keseharian kehidupannya selalu dipenuhi oleh unsur-unsur filsafat. Lihat saja berbagai ungkapan yang ada, selalu menunjukkan unsure filosofi hidup dan religiositas: “Gusti Alah ora sare”, “ngono yo ngono, neng ojo koyo ngono”, “urip iki mung koyo wong mampir ngombe”, dan sebagainya. Filosofis dan spiritualis merupakan perwatakan dasar ide manusia Jawa. Wajar jika di Indonesia, kehadiran agama yang “kering” dari nuansa filosofis, atau agama yang hanya mengandalkan segi-segi hukum formal kurang mendapatkan minat masyarakat. Bahkan sebagaimana nampak dalam sejarah pengembangan Islam di Nusantara, sebagian besar masyarakat sangat tertarik dengan sufisme-filosofis.
Pada kasus pengadilan dan jatuhnya vonis hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar, sebagaimana pernah terjadi pada kasus al-Hallaj, Syuhrawardi, ‘Ayn al-Quddat Hamadani, termasuk Syekh Amongraga dan sebagainya, terdapat dua hal yang menjadi penyebab utama: motif politik dan konflik antara ulama syari’ah-formal dengan ulama sufi, utamanya sufi filosofis. Syekh Siti Jenar yang mencoba merajut Islam kultural yang sudah agak lama berakar di Indonesia, pada masa awal Arabisasi Islam Indonesia menjadi korban konflik politik dan tumbal dari sengitnya persateruan ulama fiqhi, yang pada abad-abad ke-14 sampai 16 banyak masuk ke Indonesia, seiring dengan hancurnya beberapa pusat peradaban Islam di Timur Tengah.
Sistem sufisme Syekh Siti Jenar dapat dikatakan secara tegas sebagai sistem sufisme-filosofis, karena dalam pengajaran dan sistem lelaku spiritualnya (proses suluk untuk memperoleh pengalaman langsung kemanunggalan) selalu menampilkan konsep bahwa “yang ada” mencakup 6 hal: (1) mengenai “esensi”, “sifat”, dan “nama”; (2) mengenai pancaran (discent) dari yang Absolut; (3) Esensi sebagai Tuhan; (4) Manusia sempurna sebagai perwujudan atau eksistensi Ilahi; (5) mengenai makrokosmos [yang menemukan mikrokosmos yang harus menjaga makrokosmos]; dan (6) Kembali ke Esensi. Berlandaskan keenam poin inilah sistem religi, laku spiritual dan ajaran kesufian Syekh Siti Jenar dibangun.
Syekh Siti Jenar dalam ajaran-ajarannya selalu mengutamakan eksistensi manusia sebagai Khalifatullah, dimana fungsi ini hanya akan dapat berjalan jika manusia menjadikan dirinya sebagai al-insan al-kamil. Manusia sempurna dalam konsepsi Syekh Siti Jenar adalah dia yang berhadapan dengan pencipta dan pada saat yang sama juga dengan makhluk lain. Manusia sempurna merupakan qurb atau axis tempat segala sesuatu berkeliling dari mula hingga akhir. Oleh karena segala sesuatu menjadi “ada”, maka dia adalah satu (wahid) untuk selamanya. Ia memiliki berbagai bentuk dan ia muncul dalam kana’is atau rupa yang bermacam-macam, sehingga ia juga memiliki panggilan yang berbeda-beda, ketika maujud dalam bentuk jasad. Prototypenya adalah person Muhammad, dengan nama kehormatan Abu al-Qasim, dan bergelar Syams al-Din (Sang Mentari Agama). Poros dari al-insan al-kamil adalah ruh Muhammad atau haqiqat al-muhammadiyah. Pada jiwa setiap orang, akan selalu terdapat “ide tentang Muhammad” (al-haqiqat al-Muhammadiyah), sehingga memiliki potensi untuk menyatu dalam ruh Muhammad untuk menjadi manusia sempurna.

B. Tauhid Wujudiyah (Tauhid Al-Wujud)
Sebenarnya, apa yang menjadi inti ajaran Syekh Siti Jenar justru adalah tauhid yang tertinggi “tidak ada apa-apa atau sesuatupun selain Allah” yang teraplikasi dalam sikap kehidupan sehari-hari (Rinkes, II, 26). Jadi “tidak ada sesuatupun yang meng-Ada kecuali Allah”. Pada masa-masa berikutnya, hal tersebut kemudian dikenal sebagai faham manunggaling kawula Gusti. Terma ini sering begitu saja disama-maknakan dengan konsep tauhid al-wujud dan wahdat al-wujud.
Dalam hal ini, penulis membedakan antara tauhid al-wujud dengan wahdat al-wujud bukan hanya karena permainan istilah atau kebahasaan. Namun memang terdapat perbedaan esensial dalam segi proses suluk yang harus ditempuh oleh seorang salik.
Tauhid al-wujud adalah “menyatukan wujud”, ini agak berbeda dengan wahdat al-wujud, yakni “wujud yang esa”. Yang pertama lebih berorientasi “dari bawah ke atas”, dimana manusia menaik menuju-Nya “menyatu ke Yang Wujud” sehingga menjadi “hanya Allah yang wujud haqiqi” dan selainnya menjadi nisbi setelah proses ‘penggabungan’, sedangkan yang kedua adalah “kesatuan wujud” yang terbentuk karena manunggal dengan-Nya, dibawa proses yang terjadi adalah “menurun ke bawah”. Yang pertama terjadi bi al-ikhtiyari atau bi al-thariqati, dan yang kedua terjadi secara bi fadhl atau bi-qudrati. Yang pertama adalah hasil dari kerja keras ruhani, dan yang kedua adalah karunia dan penghargaan atas usahanya (anugerah). Jadi jalan berbeda namun hasilnya bisa sama. Terkait dengan hal ini, Ibn ‘Atha’illah menyatakan:
“Salik, orang-orang yang tengah menuju kepada Allah telah mendapatkan hidayah dengan nur ibadat yang merupakan amalan untuk taqarrub kepada Allah (tawajjuh), sedang orang-orang yang telah sampai kepada Allah tertarik oleh nur yang langsung dari-Nya, bukan sebagai hasil ibadat tetapi semata-mata karena karunia Allah (muwajahah). Maka, orang-orang salik menuju ke alam nur, sedangkan mereka yang telah sampai berkecimpung di dalamnya, sebab mereka ini telah bersih dari segala sesuatu selain Allah. Firman-Nya, ‘Katakanlah “Allah”, kemudian tinggalkan yang lain-lain di dalam kesibukan mereka berkecimpung.”
Hanya saja pengalaman keruhanian umumnya tidak bisa terulang sama persis. Oleh karenanya yang lebih penting adalah pekerjaan atau aplikasi efek keruhanian itu, yakni dalam kerangka al-ihsan (hamemayu ayuning bawana). Kalau al-ihsan sebagai tugas Khalifatullah ini tidak dilaksanakan maka, sebagaimana pernah dipredikasi Syekh Siti Jenar, dunia rusak sebelum waktunya rusak, dan manusia menjadi sengsara tanpa tahu arah ke mana ia sebenarnya berjalan. Manusia tidak sempat mengenyam “ayuning bawana”, dan juga tidak memiliki orientasi akhir ke mana ia hidup sesungguhnya setelah dunia fisik rusak.
Maka ada dua fenomena dalam kesejatian manusia yakni “Ingsun Sejati” dan “Sejatine Ingsun”. Yakni “sejatine ingsun” adalah “Ingsun Sejati”. Jadi dalam tauhid al-wujud terjadi unsur-unsur tambahan manusia, dan dalam wahdat al-wujud bisa terjadi secara alamiyah, naluriyah, atau tidak mesti dengan usaha. Tauhid al-wujud itu “merengkuh Allah”, dan wahdat al-wujud adalah “direngkuh Allah”. Anak kecil yang belum memiliki dosa dari perbuatan taklif kondisinya masih “direngkuh” oleh Allah, sehingga nalurinya masih sangat tajam, jujur, manusiawi, alami, dan apa adanya. Maka seorang sufi selalu dituntut untuk menjadi “telanjang” di hadapan Allah.
Dalam sufisme Syekh Siti Jenar, makrifat merupakan perspektif tarekat sufinya. Ia menegaskan bahwa orang-orang yang arif (memiliki kemampuan makrifat) tidak direduksi pada perilaku zuhud dan ‘ubbad, walau keduanya juga menjadi bagian penting dalam sufismenya. Bagi Syekh Siti Jenar makrifat merupakan puncak tingkat keagamaan seseorang dalam Islam, yang tidak membutuhkan tempat penggantungan analitis yang rumit untuk mencapainya. Inilah beda Syekh Siti Jenar dengan Ibn ‘Arabi. Oleh karenanya, Syekh Siti Jenar tidaklah banyak menulis buku dalam cara presentasi skematik dan rinci.
Warisan spiritualnya lebih banyak yang “dibubuhkan” kepada murid-muridnya daripada buku-bukunya. Ia mengajarkan Kebenaran-kebenaran sufistik kepada murid-muridnya dan mereka mengenang dan memahaminya di bawah bimbingannya, dan untuk seterusnya mengajarkan pula kepada generasi berikutnya dalam pengertian yang aktif. Maka wajar jika kemudian, karena kekhawatiran akan hilangnya khazanah sufisme Syekh Siti jenar, para pengamal dan penganut ajarannya banyak yang menuliskannya dalam bentuk buku, walaupun sebagian memang mengalami proses degradasi dan reduksi, sebagai suatu hal yang wajar, karena penulisannya sudah agak jauh dari sumber pengajaran.
Sebagai bentuk aplikasi kemakrifatan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa dalam hidupnya selalu dicurahkan kepada dua hal: pertama, pencurahan hidup dalam profesi sebagai seorang pengajar tarekat sufi dengan berkelana di berbagai daerah. Kedua, hidupnya juga dicurahkan untuk pembelaan hak-hak masyarakat banyak, serta mengarahkan kehidupan masyarakat banyak untuk selalu berdimensi kemarifatan. Bahkan corak keberagamaannya secara umum bersifat populis dan advokatif.
Dari hal diatas nampak bahwa sebenarnya, Syekh Siti Jenar sama sekali tidak menihilkan syari’at. Hanya saja syari’at diberikan maknanya secara lebih luas dan benar, yakni sebagai “jalan luas” menuju Allah, tidak direduksi sebagai hanya fiqih. Dan bagi orang-orang sepertinya, memang akhirnya perhatian terbesar sudah melebihi dari sekedar formalisme keagamaan. Keikhlasan dan keihsanan mereka menuju Allah lebih besar dari segala bentuk peribadatan formal apapun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ibn ‘Atha’illah:
“Allah menghindarkan orang-orang yang menuju kepada-Nya dan juga menghindarkan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya dari melihat atau mengagumi amal (ibadat) dan keadaan diri mereka. (Kalau) Tuhan bertindak demikian kepada orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya adalah, karena mereka dalam amal ibadatnya belum dapat melaksanakan dengan ikhlas (al-shidq) menurut apa yang diperintahkan; dan juga terhadap orang-orang yang telah sampai kepada-Nya adalah, karena Dia menjadikan mereka lupa pada amal mereka sendiri demi bersaksi kepada Allah (bisyuhudihi = melampaui penyaksian langsung).”
Dengan demikian, maka wahdat al-wujud juga berbeda dengan wahdat al-maujud. Jika wahdat al-wujud memandang bahwa segala sesuatu merupakan tajalli Tuhan, maka wahdat al-maujud memandang bahwa seluruh perwujudan adalah Tuhan.

C. Insan Kamil (Wahdat Al-Wujud)
Manusia sempurna adalah manusia yang sanggup berproses ke dalam kemanunggalan. Sehingga manusia sempurna dalam dirinya berhadapan dengan semua individualisasi eksistensi. Dengan spiritualitasnya, ia berhadapan dengan individualisasi yang lebih tinggi; dengan jasadnya dia berhadapan dengan individualisasi yang lebih rendah. Hatinya bertemu dengan “Obor Tuhan” (al-Arsy), jiwanya bertemu dengan Pena (Qalam), dan rohnya berhadapan dengan lauh al-mahfudz. Dalam bahasa Syekh Siti Jenar, jasadnya berada di alam kematian, suksmanya mengarah pada kehidupan sejati.
Menurut Syekh Siti Jenar, sebagaimana pula menurut al-Jili dan Ibn ‘Athaillah (walaupun hanya dalam dataran filosofis), manusia sempurna merupakan copy (nuskha) Tuhan. Hal ini juga didasarkan pada pernyataan hadis bahwa Tuhan menciptakan Adam dalam bayangan dirinya. Demikian pula bahwa al-asma’ al-husna merupakan perwatakan yang harus disifati oleh manusia. Sehingga proses yang berlangsung tersebut, setelah penciptaan substansi, maka al-asma’ al-husna dikonfrontasikan dengan sifat ke-Adaman; ke-Dia-anNya (Huwiyya) yang ilahi dikonfrontasikan dengan ke-dia-an Adam; ke-Akuan Ilahinya dikonfrontasikan dengan kesadaran aku Adam, dan esensi Ilahinya dengan esensi Adam. Demikianlah, maka dari proses tersebut terkandung implikasi, khususnya pada konteks al-insan al-kamil.
Menurut Syekh Siti Jenar, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi pada dasarnya menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan yang inhern dalam esensi kemnausiaan. Sehingga dalam hal ini banyak pernyataan bahwa Tuhan berfungsi sebagai kaca (mir’u) bagi manusia, juga halnya demikian bahwa manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat diri-Nya. Sebagai kaca yang dipakai seseorang melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat dirinya itu tanpa adanya kaca tersebut, maka demikian itulah halnya hubungan yang berlangsung antara Allah dengan al-insan al-kamil. Maka, secara ringkas dapat dikemukakan bahwa manunggaling kawula Gusti terjadi karena sifat dan asma Allah menjadi “hak fundamental bagi manusia sempurna”. Hal ini memungkinkan manusia melakukan proses tashfiyat al-qulub wa tazkiyat al-nafs melalui maqamat dan disiplin kuat menempuh “laku” spiritual. Dalam hal ini, perjalanan spiritual memang memerlukan kehendak kuat, karena “mereka yang beruntung” mendapatkan anugerahnya, lebih sedikit disbanding “mereka yang kurang beruntung”. Bagi “yang kurang beruntung” sangat dibutuhkan kemauan kuat dan disiplin laku yang tinggi, agar mampu meraih hak-hak fundamentalnya sebagai manusia sempurna tersebut.
Menurut Ranggawarsita (Suluk Sopanalaya), untuk dapat manunggal ini memang diperlukan dzikir dan lelaku sebagai amuntu hakikat, “mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan dengan disertai hati yang penuh kerinduan untuk mendapatkan hidayah-Nya. Barangsiapa yang menerima rahmat dan hidayah-Nya ia akan dapat manunggal dengan Tuhan”. Hak fundamental inilah yang menjadikan ajaran Syekh Siti Jenar memiliki pengaruh yang kuat, karena efeknya adalah terciptanya semangat egaliter. Semua manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam laku beragama, serta mendapatkan pengalaman spiritual yang tinggi.
Manusia sempurna jadinya tidak mungkin dapat melihat bentuknya sendiri kecuali melalui kaca Allah; sama halnya, dia juga menjadi kaca bagi Tuhan, karena Tuhan ingin agar dirinya melihat dia sendiri dan dikenali. Dan agar dikenali itulah manusia sempurna diciptakan sehingga dengan kaca manusia, Allah akan melihat Diri-Nya. Maka dalam hal ini, Syekh Siti Jenar meyakini dan mengalami bahwa manusia bisa menjadi “mirip” Tuhan, bahkan bisa “memasuki” Tuhan sepenuhnya. Hanya saja tidak mungkin kemudian sampai mengidentifikasikan bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan, apalagi bahwa ruh dan jiwanya yang “serba Tuhan” tersebut masih terperangkap di dalam “mayat hidup” dalam bentuk jasad fisik.

D. Manunggal Sebagai Arah Kehidupan Sejati (Jatining Urip)
Inti dari sikap arah kehidupan sejati sebenarnya adalah sikap mengakhiratkan dunia, dimana kesucian ruhani menjadi landasan keseluruhan gerak hidup. Maka efek-efek material fisik hanyalah menjadi sarana bagi pemeliharaan jasad, dengan kesadaran bahwa jasad diharuskan menjadi tempat persemaian ruh di dunia ini. Pemeliharaan jasad dalam hal ini adalah karena agar ruhnya terpelihara. Inilah doktrin halalan thayyiba itu. Halal bersifat ruh diletakkan di awal frasa, dan thayyiba yang bersifat fisik materi diletakkan di belakang, mengikuti yang di muka. Dan hanya dengan ruh yang baik serta suci-murni sajalah persentuhannya serta kemanunggalannya dengan Ruh asal dapat terjadi.
Maka manusia sempurna dengan demikian adalah pribadi yang berkehendak. Manusia sebagai “yang ada” mempunyai sifat-sifat positif (Ilahi). Manusia sempurna pada dasarnya bersikap “menerima” dunia sebagai “realitas” tempat manusia lewat melangkahkan satu fase perjalanan ruhaninya, menuju Kehidupan Sejati. Dan manusia sempurna adalah mereka yang bersikap haqq al-yaqin ke mana ia hendak pergi meninggalkan alam dunia fana ini. Hal ini terjadi, karena antara manusia dengan Tuhan memang memiliki hubungan khusus, yang berbeda dengan makhluk lain.
Jika dibuatkan diagram dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan hubungan manusia dengan Allah dalam perspektif sufi, maka akan jadi seperti ini:






















Dari pernyataan itu dapat dikatakan, bahwa antara Tuhan dan manusia itu sebenarnya satu, yang juga dinyatakan dalam proses awal penciptan manusia itu sendiri, bahwa manusia diberi tiupan ruh Allah, dari Allah sendiri. Maka berarti perbuatan manusia (yang berupa ketergabungan iradah keduanya) merupakan perbuatan Allah. Disinilah kaum sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Bahkan lebih luas lagi, Tuhan juga dekat kepada seluruh makhluk sebagaimana terungkap dalam hadits qudsi,
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفُ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِي
“pada mulanya, Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui mereka merekapun kenal kepada-Ku.”
Dari paparan itu nampaklah bahwa dalam beberapa ayat tersebut ada kesan tentang ajaran yang disebut oleh sebagian kalangan sufi sebagai al-ittihad, sedang dalam hadits nabi bahkan terdapat kesan ajaran yang sering disebut sebagai wahdat al-wujud. Sehingga dari kenyataan itu jelas sekali, Islam sejak awalnya telah memiliki potensi tasawuf, walaupun tidak ada pengaruh dari luas.
Gambaran serupa sebenarnya juga tidak memerlukan ilmu khusus tersendiri (ilmu tasawuf misalnya), karena dengan khusyu’ beribadah dan melalui ketaatan sempurna seseorang akan mengalami kedekatan dengan Allah (atau meditasi bertapa brata), lalu iradahnya bergabung dengan iradah Allah, maka ia kemudian akan melihat Allah dengan mata hatinya yang tajam dan tercerahkan akibat terbukanya hijab antara dirinya dengan sang Khaliq, dan akhirnya mengalami persatuan ruh antara ruhnya dengan ruh Tuhan; dan inilah hakekat klimaks dari tasawuf yang banyak dicari dan diinginkan para sufi, walaupun hasil tasawuf itu bukan sebagai tujuan finalnya.
Orang yang mencapai makrifatullah adalah mereka yang positif, merasa pasti dengan hidupnya. Oleh karenanya bagi mereka bukanlah persoalan dosa, takdir, halal, haram dan sejenisnya yang menjadi pandangan gerak hidup. Pendekatan yang harus dilakukan, sebagaimana dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah membawa kita ke dunia religios yang berorientasi pada proses, berjiwa optimistik, yang tidak diperlukan ukuran-ukuran yang statis untuk menentukan sebuah proses.
Jika anda ingin bersatu dengan Allah, ingatlah bahwa:
“Jika engkau ingin menyatu dengan Allah hanya setelah lenyepnya kejahatan dan terhapusnya kepongahan, maka engkau tidak akan pernah bersatu dengan-Nya. Tetapi ketika Allah ingin menyatukan dirimu dengan-Nya, maka Dia akan menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-Nya dan menyembunyikan kekuranganmu dengan karunia-Nya. Dan demikianlah Dia menyatukanmu dengan Diri-Nya melalui kebaikan apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan bukan melalui kebaikan yang engkau berikan kepada-Nya.”

Dan untuk mendapatkan semua itu, tentulah tidak gratis. Spiritualitas anda harus diperjalankan, ruhani harus dioptimalkan menuju-Nya, dengan mengharap Ridha-Nya, sehingga akan terjadi anugerah dari-Nya untuk menyatukan diri. Dan tentu juga bahwa terkait hal itu, konsep khairu al-nas anfa’uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi manusia lain). Maka perjalanan ruhani nampaknya memang juga harus menyatu tunggal dengan keihsanan, hamemayu ayuning bawana. Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin.

“Siapa yang mengenal Allah (al-Haqq), maka pasti dapat menyaksikan-Nya pada tiap-tiap sesuatu. Dan siapa fana’ (ekstase) dengan Allah, maka pasti lupa dari segala sesuatu. Dan barangsiapa benar-benar mencintai Allah, maka pasti tidak memilih sesuatu selain-Nya”

E. Manunggaling Kawula Gusti (Al-Insan Al-Ilahiyyah)
Dalam pandangan sufisme, Tuhan merupakan esensi. Syekh Siti Jenar, dan seluruh kaum sufi pada umumnya memiliki rumusan yang demikian. Hal itu memungkinkan “masuknya” Tuhan pada diri manusia; manunggal, hulul, fana’ atau apapun namanya. Karena nama atau sebutan tersebut sebenarnya bukan mengacu pada pengalaman yang diperoleh, tetapi lebih pada proses yang ditempuh. Sama halnya antara kunci dengan gemboknya. Bisa saja dikatakan gembok dimasuki kunci, atau kunci masuk ke gembok. Karena memang kadang kunci dulu yang dipegang baru gemboknya, dan kadang gembok dulu dipegang baru meraih dan memasukkan kunci.
Didasarkan pada berbagai prinsip ajaran Syekh Siti Jenar (sebagai corak sufisme filosofis), maka logikanya adalah bahwa segala sesuatu yang ada dalam jagad raya memiliki unsur esensi Ilahi, sehingga manusia dangat dimungkinkan melakukan “pertemuan esensi dirinya dengan Esensi Tuhan” menuju Diri Sesungguhnya. Memang akhirnya factor inilah yang memunculkan konflik dengan kelompok ulama fiqhi, sehingga karena konflik yang berkepanjangan, al-Jili sampai mengatakan secara hati-hati, “meskipun agama menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara Khaliq dengan makhluq – karena makhluq ‘dipinjami’ sifat-sifat ilahi – kami sebagai kaum mistik mengetahui bahwa kedua-duanya sama”.
Dengan keadaan yang demikian, maka Syekh Siti Jenar dan sebagian kaum sufi menjadikan gagasan tentang Tuhan sebagai esensi dan manusia yang ‘dipinjami’ sifat-sifat ilahi’ sebagai doktrin kuat, yang sangat memungkinkan manusia sempurna bisa sampai kepada tahapan spiritual ketika Tuhan “berpindah” ke jasad manusia.. sehingga ungkapan-ungkapan mistik seperti “Aku adalah Tuhan”, “Aku adalah Yang Hak”, dan sebagainya, adalah bukan sufi yang bersangkutan, tetapi melalui jasad sufi tersebut Tuhan menyatakannya. Hanya saja, sekali lagi perlu ditegaskan, itu merupakan Tuhan yang telah manunggal ke dalam diri manusia sempurna. Dalam hal ini, kita tidak perlu sibuk mengurusi istilah-istilah monisme, panteisme dan sebagainya. Yang jelas, doktrin tauhid “tidak ada Tuhan selain Allah” adalah final. Syekh Siti Jenar memberikan makna terhadap doktrin itu “bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali esensi Ilahi dengan makhluk-makhluk yang mempunyai mode yang secara ciptaan bersifat kreatif”. Kunci dari semua itu adalah musyahadah, atau penyaksian langsung akan Tuhan melalui ruh yang suci.
Musyahadah adalah penyaksian atau visi. Musyahadah adalah sejenis pengetahuan langsung tentang Hakekat yang disaksikan. Sehingga seorang sufi yang sudah berada dalam tahapan ini disebut sebagai musyahid, atau Saksi. Dia adalah orang yang telah memperoleh visi (musyahadah) tentang Allah, Yang Mahabenar.
Penyaksian ini terjadi dalam berbagai cara . sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum tarekat menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Sebagian menyaksikan Allah sebelum, sesudah, atau bersama sesuatu. Sebagian lain menyaksikan Allah sendiri. Semua tergantung pada proses, jalan ruhani yang ditempuh, dan juga Kondisi ruhani sang penempuh jalan masing-masing.
Dan karena Allah tida pernah mengungkapkan Diri-Nya sendiri secara sama dalam dua momen berturut-turut pada sesuatu, maka penyaksian (musyahadah) itu tidak terbatas dan tiada berakhir. Inilah salah satu kenikmatan atau Nikmat (na’im) yang dirasakan oleh para penghuni surga sejati. Dan tentu bagi para pencinta-Nya dan para perindu-Nya, ia bisa saja merasakan kebahagiaan abadi itu, sejak dari dunia ini. Sehingga ketika ia melalui gerbang kematian, ia disebut sebagai “tidak mati”, akan tetapi tetap berada dalam kehidupan. Ya, hamba yang sudah manunggal hanya beralih alam menuju pada Kehidupan Sejati dan mengarungi Keabadian, sebagaimana Syekh Siti Jenar mengalami kematian, yang ruh dan raganya sama-sama musnah menuju Ruh al-Haqq Yang Abadi.
Ranggawarsito, salah seorang penerus ajaran Syekh Siti Jenar mengemukakan:
Mungguh urip kita iku, tetelane Manawa dadi tajalining Dzat Kang Amaha Suci Sajati, dene kayekten kang dadi tandhane kadunungan angen-angen ambabarake budidaya, ing kono ora beda karo Kang Kawasa amedharake kudrat karo iradat. (Serat Wirid Maklumat Jati, hlm. 5).
Adapun hidup kita itu sesungguhnya menjadi tajali dari Zat Yang Maha Suci Sejati. Adapun kebenaran yang menjadi tandanya adalah manusia memiliki angan-angan membeberkan budidaya. Di situ tidak berbeda dengan Yang Kuasa membeberkan kodrat dan iradat-Nya.

Melihat berbagai penjelasan tersebut, maka bagi Syekh Siti Jenar, sebenarnya hijab pada manusia dalam kerangka hubungannya dengan Allah sebenarnya tidak ada. Yang terjadi adalah terpahatnya hati oleh bayangan benda-benda yang melekatinya, sehingga menutup sedikit demi sedikit cahaya Ilahi dalam hati. Oleh karenanya penggunaan hak fundamental menjadi manusia Ilahi, harus menghilangkan apa yang kemudian disebut hijab tersebut, dengan laku spiritual. Semakin lekat dan tebal bayangan benda duniawi dalam hati, dan semakin hal itu menggantungi kesadarannya, maka harus semakin keras dan disiplin ia menempuh laku spiritual. Apa yang menjadi anggapan Syekh Siti Jenar ini mendapatkan pembenaran dari al-Sukandari (al-Hikam):
“Al-Haqq (Allah) tidak pernah terhijab darimu, malahan engkaulah yang terhijab dari melihat-Nya. Bila sekiranya ada sesuatu yang menghijab Allah, berarti sesuatu itu dapat menutup Allah, dan sekiranya ada tutup bagi Allah, berarti Wujud Allah terbatasi dan sesuatu yang membatasi itu dapat menguasai terhadap yang dibatasi, padahal Allah adalah yang berkuasa atas semua hamba-Nya.”

Oleh karenanya Dzat Yang Haqq tidak dapat terhijab oleh segala apa pun; orang-orang yang terhijab dan terjerumus dalam noda hati memiliki keyakinan bahwa “sesuatu” dapat menjadi hijab. Hal ini sebenarnya adalah ilusi manusia yang kurang mau membuka diri atas kelalaian dan kelemahan dirinya. Coba simak pernyataan ini:
“Tidak ada sesuatu dari benda di sisi Allah yang menghijab dirimu dari-Nya, karena segala sesuatu selain Allah itu tidaklah ada. Sudah tentu, bayangan (ilusi) suatu benda di sisi Allah adalah apa yang menghijabmu dari-Nya.” (al-Sukandari dalam al-Hikam).

Pemaknaan Tuhan sebagai Yang Esensi ini terjadi, karena justru Tuhan menghendaki agar rahasia keilahian-Nya bisa tersingkap oleh adanya alam raya, dan alam raya sungguh-sungguh merupakan sifat-Nya. Alam merupakan perwujudan rahasia Ilahiyah, yang hatrus ditembus oleh manusia, yang merupakan bagian dari alam raya ini. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ibn ‘Atha’illah, bahwa “apa yang tersembunyi dalam alam ghaib (ghaib al-sasa’ir) pasti akan termanifestasikan (tampak) dalam alam nyata (syahadah al-zhawahir” (al-Hikam).
Oleh karena itu, pada tataran kemanusiaan berikutnya, individualitas manusia sendiri bukan sesuatu yang mutlak dan bukan suatu nilai pada dirinya sendiri. Karena sebenarnya semua suksma hanyalah merupakan ungkapan Sukma Ilahi yang satu, bagaikan air dalam pipa-pipa yang saling bergandengan, dari satu sumber, dan semua pipa terpendam dalam tanah. Sehingga realitas manusia itu satu; bentuk luar berbeda, namun sisi kedalaman sama, satu. Individualitas manusia di dunia ini hanyalah sementara. Karena dalam batin terbuka dasar Ilahi sebagai realitas manusia yang sebenarnya.
Pada tahapan awal, setelah pengajaran Syekh Siti Jenar, memang konsep manunggaling Kawula Gusti baru berada dalam tataran pengertian yang diperoleh dengan kesadaran. Namun pengertian (kawruh) adalah lebih dari sekedar pengetahuan. Pengertian adalah suatu kejadian yang mengubah manusia itu sendiri, yang memberikan dimensi dan kedalaman baru bagi eksistensinya, menjadi realitas baru manusia itu sendiri. Sehingga pengertian yang sebelumnya seakan tertutup dan belum operasional tersebut, kemudian diaktualisasikan. Disinilah maka nilai kawruh itu akan sanggup mengantarkan kepada keadaan manunggal antara “keakuan” menjadi “Aku Ilahi”.

F. Kondisi Real Manunggaling Kawula Gusti
MKG bukanlah sekedar ilmu yang dapat dengan mudah dipelajari begityu saja. Ia merupakan pengalaman ruhani sebagai hasil laku jiwa di dalam Allah, yang disertai fadhl dari Allah, sebagai penghargaan atas perjuangannya dalam laku ruhani seseorang.
Bahwa seorang sufi yang telah mencapai maqamat ma’rifatullah atau manunggaling kawula Gusti adalah, yang dalam dirinya telah terkumpul semua sifat kebajikan, sebagaimana direfleksikan dalam syahadat Ingsun-sejati (sasahidan) sebagai berikut:
a. Sifat-sifat Allah, yang memiliki sifat menutupi dan mengampuni kesalahan. Bahkan dalam diri terdapat aplikasi dari seluruh asma, sifat dan af’al-Nya;
b. Sifat Muhammad, yang mempunyai sifat memberi syafa’at dan menjadi sahabat makhluk. Ia merefleksikan diri sebagai nur, ruh, dan haqiqat Muhammad;
c. Sifat Abu Bakar, yang memiliki sifat kejujuran dalam kebenaran dan kebajikan;
d. Sifat ‘Umar bin al-Khaththab, yang memiliki sifat memerintah dan melarang (amar ma’ruf nahi munkar);
e. Sifat Utsman bin ‘Affan, yang suka memberi makan orang-orang miskin dan menunaikan shalat malam di kala orang lain tertidur lelap;
f. ‘Ali bin Abi Thalib, yang memiliki sifat berilmu dan berani.
Sifat-sifat tersebut diperoleh kaum msufi dari hasil mujahadah, perjalanan spiritual, atau lelaku semadinya, di mana mereka meraih kekuatan jiwa batiniah (quwwah al-ruh al-bathini) dengan cara:
1. menghadapkan wajah dalam beribadah secara total kepada Allah (tawajjuh);
2. merenungkan Allah disertai rasa takut berpisah dengan-Nya (muraqabah);
3. menafikan diri untuk merenungkan dengan baik (tasharruf);
4. selalu menempuh jalan spiritualisme mistis, melalui berbagai maqamat sufi, riyadhah batin dalam dzikir, wirid, mujahadah, dan meditasi sehingga memperoleh kondisi kemanunggalan.
Semua upaya pelatihan jalan ruhani dan meditasi itu disebut sebagai kekuatan kehendak (quwwah al-iradah) yang bersambung pada kekuatan Ilahi karena jiwa manusia dihubungkan dengan jiwa agung, yakni Allah. Sehingga terjadilah persatuan iradah dan kodrat, dan juga kemanunggalan sifat, asma’, dan af’al antara kawula (hamba/al-makhluq) dengan Gusti (Allah/al-Khaliq).
Yang terpenting sebagai rukun tarekat bagi seorang sufi adalah: (1) taubat al-nasuha; (2) kepasrahan [taslim]; (3) kesetiaan pada jalan spiritual [diyanat]; (4) kerendahan hati dan ketundukan jasmani [khusyu’ wa khudhu’]; (5) keridhaan [ridha]; (6) kemenyendirian [khalwat] dalam meditasi, dan (7) hanya bersama Allah [ma’iyyatullah] dengan menghapuskan segala sesuatu yang ghairullah [yang selain Allah] dari dalam hatinya.
Untuk itu, seorang sufi harus mengamalkan ajaran-ajaran thariqah yang paling pokok, yang meliputi: (a) ilmu [‘ilm]; (b) kedermawanan [sakhawah]; (c) kedekatan kepada Allah [qurbah]; (d) kesetiaan keagamaan [al-din]; (e) muhasabah, meditasi dan perenungan [tafakkur wa muhasabah]; (f) ketawakkalan kepada Allah, lahir dan batin [tawakkal].
Sedangkan prinsip-prinsip kethariqahan dalam bentuk perjalanan spiritual dalam kehidupan keseharian, atau meditasi di tengah keramaian manusia, yang dipegang sebagai panduan kehidupannya adalah: (1) kebajikan [ihsan]; (2) mengingat Allah [dzikr]; (3) meninggalkan kemaksiyatan [tark ma ‘ashi]; (4) meninggalkan dunia dan keduniaan [tark dunya]; (5) takut berpisah dengan Allah [khawf khuda’]; dan (6) cinta kepada Allah [mahabbah, ‘isyq khuda’].
Setelah seorang sufi mampu melaksanakan hal-hal tersebut, dan selalu berada dalam kesetiaan jalan ruhani itu, maka sebagai perwujudan hasil dari firman Allah dalam surat al-Fatihah di atas, akan menampakkan hasil pada diri sang sufi sebagai berikut:
1. pengetahuan ilahi (ma’rifah);
2. kelembutan hati (hilm);
3. kesabaran (shabr);
4. keataatan (tha’ah);
5. tatakrama atau akhlak terpuji (adab); dan
6. ketulusan (shawq).
Setelah seorang sufi mencapai maqamat kemanunggalan, sebagaimana yang nampak pada pribadi Syekh Siti Jenar, maka arti makrifatullah dalam kehidupan kesehariannya menemukan wujud dalam tiga hal.
Pertama, jujurnya perasaan. Makrifat sebagai buah ilmu, pengetahuan, dan amaliah dari hakekat menghasilkan perasaan yang selalu jujur dan berada dalam kepastian akan kebenaran. Bukan lagi dalam bentuk was-was, khawatir, sublimasi, atau masih dalam konteks menebak-nebak atas diri sendiri tentang apa yang akan dialami dan akan terjadi. Hal ini terjadi karena sudah terjadi kemanunggalan kodrat dan iradat antara kita dengan Allah. Dengan perasaan jujur maka yang kita rasakan adalah bentuk pengetahuan nyata, tanpa diberitahu orang lain, tanpa belajar. Inilah yang sering disebut orang sebagai ‘ilmu al-laduniyah, pengetahuan yang langsung diperoleh dari Allah.
Kedua, hati selalu berada dalam kondisi keberadaan sejati, selalu dalam keaktifan ruh al-idhafi yang tersinari sepenuhnya oleh Ruh al-Haqq. Ia tetap bersinar terang benderang dan memancarkan kesejukan. Karena ia selalu berada dalam keadaan heneng dan hening (keheningan dan kebeningan = qalbun salim). Oleh karenanya ia berada dalam kehiduopan yang tenteram karena hati selalu memandang-Nya dan menikmati kehadiran-Nya. Kemudian hal tersebut terpantul pada wajah, badan wadag dan perilaku. Oleh karenanya wajah selalu sejuk, berseri, dan menandakan ketentraman dalam situasi apapun, sehingga muncul pula sikap ksatria dan keberanian menampakkan sifat asma’, dan af’al-Nya dalam kehidupan keseharian.
Ketiga, ketika hati sudah bebas dari segala kotoran dan noda, hati betul-betul bersih tanpa ada kotoran sekecil pun, di saat kondisi sudah melampaui proses tashfiyat al-qulub wa tazkiyyatun nafs (bersih hati, suci jiwa), maka pada saat itulah batas antara kawula (hamba) dan Tuhan telah “gugur”. Pada saat demikian apa yang disebut sebagai setan atau iblis sudah tidak mampu menembus untuk menggodanya. Hal ini dikarenakan pada kondisi yang demikian sang diri telah kembali sepenuhnya kepada Allah, dan bersemayam di Taman Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Qs. Al-Fajr (89) ayat 27-30. kodrat dan iradah sudah bersatu sepenuhnya.
Demikianlah hasil capaian seorang sufi, sebagimana terrefleksikan dalam pengalaman spiritual Syekh Siti Jenar, yang setia dalam jalan ruhani menuju kemenyatuan dengan Allah. Di mana tidak ada perolehan yang lebih tinggi dari kenikmatan yang didapatkannya; ia selalu berma’iyyah (bersama) dengan Allah, dan pada akhirnya ia akan selalu bersanding, bahkan “berpadu” dengan Allah dalam bentuk manunggaling kawula Gusti. Ini dapat digambarkan dengan skema: Tuhan-dalam-diri = diri-dalam-Tuhan.




No comments: